Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa
Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi salah satu catatan penting saat
Republik ini baru mulai berdiri setelah lepas dari penjajahan Belanda.
Banyak
versi seputar Serangan Umum 1 Maret tersebut. Namun demikian, peran
Letkol Soeharto tentu tidak bisa dipisahkan dalam perang untuk merebut
kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Tujuan utama
tentu untuk menaklukkan pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk
mengadakan perlawanan. Alhasil Serangan Umum 1 Maret bisa menunjukkan
kepada dunia internasional bahwa tNI masih ada.
Kurang lebih satu
bulan setelah Agresi Militer Belanda II, yaitu Desember 1948, TNI mulai
menyusun strategi melakukan serangan balik terhadap tentara Belanda
yang telah mengambil alih Yogyakarta. Serangan dimulai dengan memutuskan
telepon, merusak jalan kereta api, menyerang rombongan konvoi Belanda,
serta tindakan perebutan lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak
pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang
telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar di
pos-pos kecil di seluruh daerah.
Ketika pasukan Belanda sudah
terpencar-pencar, barulah TNI melakukan serangan. Puncak serangan
dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta terjadi pada
tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto.
Tepat
pukul 6 pagi, serangan mulai dilancarkan ke seluruh penjuru Yogyakarta.
Serangan itu telah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam buku 'Pak Harto
Untold Stories' karya Mahpudi Cs, Soerjono yang saat itu menjadi staf
Letkol Soeharto menyebut bahwa serangan umum 1 Maret sudah sangat
dipersiapkan secara matang. Sejak sore hari para prajurit TNI telah
memasuki Kota Yogyakarta dengan menyusup. Pos komando ditempatkan di
desa Muto. Malam hari, menjelang serangan umum itu, pasukan telah
merayap mendekati kota.
"Sebelum serangan dilakukan, Pak Harto
sering mengirim telik sandi (mata-mata) ke Kota Yogyakarta dan Keraton.
Para komandan pun sering dipanggil untuk mematangkan strategi perang
gerilya," ujar Soejono.
Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu
sirene tanda jam malam berakhir berdering, serangan segera dilancarkan
ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung
memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.
Wilayah
barat dipimpin Ventje Sumual, Selatan dan Timur dipimpin Mayor
Sardjono, Utara oleh Mayor Kusno . Di wilayah kota sendiri ditunjuk
Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil
menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, pasukan
TNI mengundurkan diri.
"Saya merasakan langsung kepemimpinan Pak Harto sejak perencanaan hingga pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret," terang Soerjono.
Soerjono
juga mengaku jauh sebelum peristiwa Serangan Umum Satu Maret, dirinya
sudah lama ikut Soeharto bergerilya di hutan-hutan. Soeharto pun selalu
tampil di depan saat bertempur melawan Belanda.
"Pada saat itu,
Pak Harto seolah-olah memiliki kekuatan mental yang luar biasa. Boleh
percaya atau tidak, tetapi Pak Harto seperti tidak mempan ditembak. Pak
Harto selalu di barisan depan jika menyerang atau diserang Belanda. Saya
sering diminta menempatkan posisi diri di belakang beliau," ujar
Soerjono di halaman 99 buku tersebut.
"Saya ingat kata-kata Pak Harto, kalau takut mati tidak usah ikut perang," terangnya.
Sebelum
meninggal pada tahun 2008 lalu, Soerjono pun sempat menyayangkan
beberapa orang yang meragukan peranan Soeharto dalam peristiwa Serangan
Umum 1 Maret 1949. Menurutnya mereka yang mempersoalkan tersebut karena
tidak menyukai Soeharto.
"Saya sendiri merasakan keikhlasan Pak
Harto pada saat perang dan terus berjuang membangun Indonesia ini. kelak
generasi penerus akan melihat nilai-nilai positif yang sudah pasti di
Lakukan Soeharto untuk Indonesia," terangnya. Sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar