Kamis, 21 Februari 2013

Tayub dan Stigma Negatif


Stigma negatif sering muncul dalam pikiran masyarakat luas dalam mengartiakan kesenian Tayub. Di sisi lain, kesenian Tayub memiliki sejarah panjang dalam perjalanan dan kisahnya. Bahkan yang membuat tarian ini terkenal lantaran bisa membuat penonton jadi guyup ikut menari bersama sang penari.

Kesenian yang hampir punah ini diiringi irama Gamelan, Kenong, Saron dan Gong. Sedangkan tugas penari Tayub adalah menggeksplorasi selendang, menunjukkan keindahan gerakan-gerakan yang menggoda lawan jenisnya. Bahkan, para penari ini juga mengajak para penonton menari bersama.
Penari yang memilih salah seorang penonton untuk diajak menari bersamanya, biasanya ditandai dengan dikalungkannya selendang sang penari kepada salah seorang penonton. Meskipun penonton tidak bisa menari sebagus penari utama, namun hal tersebut menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.
Tayub mulai dikenal sejak jaman Kerajaan Singosari. Pertama kali digelar padawaktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang keKerajaan Kediri dan Mojopait. Pada Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub jarang dipentaskan. Pada waktu Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub hanyadapat dijumpai di daerah pedesaan - pedesan yang jauh dari pusat kota kerajaan. Seiring berjalannya waktu, sejak berdirinya kerajaan Pajang dan Mataram,kesenian ini mulai digali kembali.
Malahan pada waktu itu Tayub dijadikan Tarian Beksan di Keraton yang digelar hanya pada waktu acara - acara khusus. Namun disayangkan, penjajah Belanda memasukkan unsur negatif yang dikenaldengan 3C, Cium, Ciu dan Colek. Tayub yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah belanda terus terpeliharahingga pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono III. Sewaktupemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak berkenandengan adanya pengaruh negatif tersebut.
Akhirnya Tayub ditetapkan sebagai tari Pasrawungan di masyarakat. Citra kesenian tayub pada waktu itu, diperburuk ulah para penari pria atau penonton. Dulu, para penari ini biasa memberi'sawer' dengan caramemasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Dengan demikian muncul kesan bahwa penayub itu 'murahan'. Di era sekarang, masyarakat kebanyakan masih menganggap bahwa kesenian ini sangat dekat dengan sesuatu yang bersifat negatif.
Seiring berkembangnya zaman, kesenian ini berusaha berdiri dari terjangan badai budaya luar yang perlahan - lahan menggerogoti keberadaan dan eksistensi kesenian ini. Persepsi negatif yang 'kadung' muncul didalam pikiran masyarakat luas, membuat keberadaan kesenian ini serasa terpojokkan, dan tinggak menunggu binasanya. bersumber dari SINI

2 komentar: