Sabtu, 16 Februari 2013

UU Desa Sesat, Menghancurkan Indonesia


Dalam sebuah catatan yang saya peroleh dari tulisan AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko yanmg menyebutkan bahwa dalam Pertemuan TIM PAKAR DEPDAGRI 3 Oktober lalu mendiskusikan isu desa, yang berupaya menemukan “cantolan” (interface) antara daerah dan desa dalam penyempurnaan UU No. 32/2004.
Cantolan desa dalam UU Pemerintahan Daerah ini selanjutnya akan dijabarkan dalam RUU Desa disebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan pemerintah tidak menjadikan sebagai daerah tingkat III. Pertama, konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa. Kedua, konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi daerah. Ketiga, kondisi desa-desa di Indonesia mempunyai tipologi yang sangat beragam, sehingga pengaturan desa tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam, seperti halnya dengan skema daerah otonom tingkat III. Keempat, tidak semua desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan Negara (state government), tetapi sebaiknya juga mengakomodasi bentuk pemerintahan komunitas (community governance) yang dikelola sendiri oleh komunitas setempat, atau disebut dengan self governing community.
Ada beberapa hal yang kemudian menggelitik untuk dicermati yaitu :


Tidak ada Amanat Konstitusi Desentralisasi Desa…?

Bagaimana konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa, sedang dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Pasal 7 ayat (1) disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah hirarki perundangan setelah UUD sebelum Undang undang, dan dalam desentralisasi sampai tingkat desa ada Tap MPR No IV tahun 2000.
Dalam Tap IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalanRrekomendasi nomor 7 menyebutkan “Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya”.
Jadi tidak benar bila tidak ada “cantolan” konstitusi untuk member dan atau mengatur otonomi sampai tingkat desa. Dan oleh karenanya sangatlah layak dan menjadi sebuah keharusan konstitusi, bahwa UU Desa kedepan harus merupakan penjelasan tentang otonomi tingkat III, bukan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, atau pelaksana tugas pelayanan semata.

Desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi daerah..?

Sebenarnya sejauhmana kerumitan yang sebenarnya terjadi, ketika dalam proses pembangunan nasional kita mengnal musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) mulai dari desa / kelurahan hingga tingkat Nasional.
Musrenbang, identik dengan diksusi di masyarakat / kelurahan tentang kebutuhan pembangunan daerah. Musrenbang merupakan agenda tahunan di mana warga saling bertemu mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan memutuskan prioritas pembangunan jangka pendek. Ketika prioritas telah tersusun, kemudian di usulkan kepada pemerintah di level yang lebih tinggi, dan melalui badan perencanaan daerah (BAPPEDA) Kabupaten / Kota, Propinsi hingga BAPPENAS.
Ketika pemerintah berpikir otonomi tingkat III mempersulit dan memperumit otonomi daerah, maka dapat diartikan proses musrenbang yang dilakukan hanya program penghamburan anggaran oleh pemerintah, karena esensinya musyawarah dari tingkat desa/kelurahan dan kecamatan bukanlah hal yang perlu dilakukan.

Desa sangat beragam, tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam…?

Dalam hal pemerintah menyampaikan tidak diperlukan adanya format yang seragam tentang desa, mengapa harus disusun UU Desa. Ini adalah bentuk ini konsistensi dasar berpikir pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri atau Presiden.
Menjadi sebuah Ambivalensi ketika dalam semangat mengakui keragaman desa dan membuka ruang bagi daerah kabupaten/kota untuk mengatur hal-hal tentang desa-desa di wilayahnya berdasarkan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, tetapi mengatur dan menata Desa demikian detail dalam sebuah UU Desa.
Akan menjadi lebih baik bila RUU Desa dalam pengaturan desa tidak sangat detail sehingga benar benar mampu memberikan ruang untuk Kabupaten Kota atau Propinsi sebagai kepanjangan pemerintah Pusat untuk membuat perda tentang Desa yang benar benar mendasar pada asal usul, adat istiadat dan nilai nilai sosial budaya masyarkat setempat / lokal. Atau bahkan tidak perlu ada UU Desa, cukup UU Pemerintah Daerah yang didalamnya mengatur Desa.

Desa pemerintahan komunitas dengan self governing community….?

Pemahaman tentang Self Govermening Community adalah pengelolaan tata kelola pemerintah yang dilakukan oleh komunitas. Ciri Self Govermening Community adalah :
  1. Komunitas mempunyai inisiatif untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama secara sukarela

  2. Pengambilan keputusan atas urusan bersama itu dilakukan oleh komunitas

  3. Keputusan itu mengikat warga anggota komunitas

  4. Penyelenggaraan urusan bersama itu dilakukan oleh komunitas
Dan dari pemahaman tersebut, maka apabila pemerintah dan DPR sepakat menjadikan desa dikelola dalam Self Govermening Community, ada beberapa hal yang perlu diicermati :
  1. UU Desa tidak perlu mengatur Tugas, Wewenang, Hak, Kewajiban dan Larangan Kepala Desa cukup mengatur tentang wewenang, hak dan kewajiban pemerintah komunitas desa

  2. UU Desa tidak menempatkan PNS dalam struktur pemerintah komunitas desa.

  3. UU Desa tidak perlu mengatur masa jabatan dan periodisasi kepala desa, biarkan pemerintah komunitas desa yang mengatur berdasarkan kesepakatan komunitasnya.

  4. UU Desa tidak perlu mengatur struktur dan pengelompokan perangkat desa, biarkan pemerintah komunitas desa mengatur kebutuhan perangkat desanya.

  5. UU Desa tidak perlu mengatur lembaga lembaga desa, cukup memberikan hak pemerintah komunitas desa untuk membentuk lembaga desa sesuai kebutuhan komunitasnya.

  6. UU Desa tidak perlu mengatur alokasi dana untuk Desa, karena desa memiliki hak untuk mengatur dan mengelolaan SDA yang dimilki untuk keperluan komunitasnya.
UU Desa jangan jadi alat pengendalian, penjajahan dan penghisapan desa untuk Negara.

Dalam hal pengaturan yang tidak jelas dasar dan semangatnya, maka sangat mungkin Negara sedang berusaha menguasai desa dengan segenap sumberdaya yang dimilikinya. Pengaturan yang detail tentang pemerintah desa, sementara mendasar pada semangat Self Govermening Community pada saat diminta tanggungjawab mensejahterakan, jelas sebuah tanda perusakan dan pelemahan desa.
Jangan sampai UU Desa akhirnya hanya akan menumbuh suburkan
  1. Tuan tanah / investor karena desa tidak mempunyai hak agraria atas pengaturan penggunaan tanah yang ada dlam wilayahnya

  2. Birokrasi Desa yang korup dan kaptalistik karena memberikan kekuasaan yang besar kepada kepala desa tanpa kekuatan pengawasan masyarakat. Beberapa hak kekuatan kepala desa dalam RUU Desa adalah :
  • Kepala desa mempunyai tugas, hak dan wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan,pembangunan dan kemasyarakatan tanpa adanya lembaga masyarkat yang memiliki fungsi kontrol

  • Kepala desa mempunyai hak menjadi hakim perdamaian desa dan keputusan bersifat final dan mengikat bagi pihak-pihak terkait.

  • BPD berkedudukan sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan bukan sebagai lembaga kontrol pelaksanaan pemerintah desa.
Mari kita cermati dengan seksama RUU Desa dan proses pembahasannya, jangan sampai UU Desa menjadi bagian dari UU yang dibuat atas pesanan pihak lain. Ingat kata MS Ka’ban bahwa ada 141 UU yang dibuat pasca reformasi adalah UU pesanan dari pihak asing untuk menguasai dan merugikan bangsa dan Negara Indonesia.
Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar