Penulis
: Aris Ahmad Risadi
Tanggal
: 15/09/2014 13:10:06
Desa
memiliki hak membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes atau BUM Desa).
Sesunguhnya sinyal itu mulai muncul pada Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009. Namun, BUM Desa mulai menjamur setelah secara eksplisit tertera
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dukungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten cukup besar.
Kementerian/Lembaga juga sudah mulai meresponnya dengan melibatkan BUM
Desa dalam program/kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat desa.
Kendati demikian upaya Pemerintah Daerah dan Pemerintah ini dinilai
belum optimal. Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
diharapkan dapat menjadi sumber spirit baru BUM Desa.
Undang-undang No. 6 Tahun 2014 menegaskan
kembali bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa. BUM Desa
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha
lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Ketentuan tentang Badan Usaha Milik Desa
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 diatur dalam Bab X, dengan 4 buah
pasal, yaitu Pasal 87 sampai dengan Pasal 90. Dalam Bab X UU Desa ini
disebutkan bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang
disebut BUM Desa yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Usaha yang dapat dijalankan BUM Desa yaitu usaha di
bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah
Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
BUM Desa dirancang dengan mengedepankan
peran Pemerintah Desa dan masyarakatnya secara lebih proporsional. Bila
bercermin kepada peran Pemerintah Desa dalam pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat selama ini, maka melalui model BUM Desa ini
diharapkan terjadi revitalisasi peran Pemerintah Desa dalam pengembangan
ekonomi lokal/pemberdayaan masyarakat.
Secara teknis BUM Desa yang ada sekarang
masih mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010
tentang Badan Usaha Milik Desa. Dengan hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014
serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka kedepan
Desa mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya dalam
pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam hal ini BUM Desa
dapat menjadi instrumen dan dioptimalkan perannya sebagai lembaga
ekonomi lokal yang legal yang berada ditingkat desa untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pendapatan desa.
Saat ini BUM Desa diberi peluang untuk
mengembangkan berbagai jenis usaha sesusai dengan kebutuhan dan potensi
desa. Adapun jenis-jenis usaha tersebut meliputi: 1) jasa 2) penyaluran
sembilan bahan pokok, 3) perdagangan hasil pertanian; dan/atau 4)
industri kecil dan rumah tangga.
Contoh dari usaha jasa adalah jasa
keuangan mikro, jasa transportasi, jasa komunikasi, jasa konstruksi, dan
jasa energi. Usaha penyaluran sembilan bahan pokok, antara lain beras,
gula, garam, minyak goreng, kacang kedelai, dan bahan pangan lainnya
yang dikelola melalui warung desa atau lumbung desa. Usaha perdagangan
hasil pertanian meliputi jagung, buah-buahan, dan sayuran. Terakhir
usaha industri kecil dan rumah tangga, seperti makanan, minuman,
kerajinan rakyat, bahan bakar alternatif, dan bahan bangunan.
Jenis usaha yang banyak diusahakan oleh
BUM Desa yang sudah ada sekarang baru jenis usaha jasa, itupun baru
sebatas jasa keuangan mikro. Dari ketentuan yang ada, BUM Desa dapat
mengembangkan berbagai jenis usaha sesuai dengan kebutuhan dan potensi
desa. Sebagai rintisan, unit usaha keuangan mikro sangat potensial
dijadikan cikal bakal pembentukan BUM Desa. Strategi inilah yang
tampaknya dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi
Riau. Dalam hal ini, keberadaan UED-SP (Usaha Ekonomi Desa–Simpan
Pinjam) yang sehat menjadi syarat pembentukan BUM Desa di Kabupaten
Rokan Hulu.
Di Pusat salah satunya Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang memiliki komitmen untuk
mengembangkan lembaga perekonomian desa, termasuk BUM Desa. Sejak tahun
2009 KPDT telah memberikan kepercayaan kepada BUM Desa untuk mengelola
Moda Transportasi yang diadakan melalui Dana Alokasi Khusus Bidang
Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal (DAK SPDT). Hal ini ditegaskan
dalam Petunjuk Teknis DAK SPDT yang dikeluarkan oleh KPDT.
Salah satu target yang ingin dicapai dari
keberadaan sarana dan prasarana perdesaan yang didanai oleh DAK SPDT
adalah meningkatnya pergerakan barang/penumpang dari pusat-pusat
produksi menuju pusat-pusat pemasaran, dan meningkatnya akses masyarakat
di perdesaan daerah tertinggal terhadap pelayanan publik.
Inisiatif KPDT untuk memberikan
kepercayaan kepada BUM Desa dalam pengelolaan Moda Transportasi bantuan
DAK SPDT tampaknya tidak serta merta disambut oleh Pemerintah Kabupaten
Tertinggal. Salah satu kendalanya karena sebagian besar dari kabupaten
tertinggal tersebut belum memiliki BUM Desa.
Beberapa kabupaten tertinggal yang
memberanikan diri memberikan mandat kepada BUM Desa ternyata juga belum
mendapatkan hasil yang menggembirakan. Faktor kesiapan BUM Desa dalam
mengelola usaha masih menjadi kendala.
Kondisi ini menjadi pertanda bahwa masih
dibutuhkan upaya panjang untuk menjadikan BUM Desa sebagai pelaksana
pembangunan perekomian perdesaan. Dibutuhkan sinergi dan dukungan yang
sepadan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Ada 4 (empat) agenda pokok yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan peran BUM Desa, yaitu :
- Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan. Tahapan ini meliputi: perumusan regulasi/pengaturan, dan penataan organisasi. Pemerintah harus merivisi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 dalam hal ini perlu menyesuaikan dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2014, serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014. Jika mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010, maka Daerah diharapkan untuk:
- Menyusun Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan BUM Desa yang minimal memuat tentang: bentuk organisasi, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil, keuntungan dan kepailitan, kerja sama dengan pihak ketiga, mekanisme pertanggungjawaban, pembinaan, dan pengawasan masyarakat;
- Mengoptimalkan peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa) dalam pembinaan terhadap BUM Desa;
- Penguatan kapasitas (capacity building). Mencakup pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi secara berjenjang. Pemerintah melakukannya kepada Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Daerah melakukannya kepada Pemerintah Desa dan BUM Desa;
- Penguatan Pasar. Setelah BUM Desa berdiri diharapkan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, perluasan pasar, dan mendapatkan fasilitasi akses terhadap berbagai sumber daya;
- Keberlanjutan. Mencakup pengorganisasian, forum advokasi, dan promosi sehingga mendapatkan wujud BUM Desa yang ideal serta semakin mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan terutama masyarakat dan dunia usaha.
Masalah terbesar yang dihadapi Pemerintah
Desa dalam mendukung kehadiran dan mengoptimalkan peran BUM Desa adalah
cengkraman Kementerian/Lembaga yang sudah kecanduaan mengelola kegiatan
yang langsung ke tingkat desa.
Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa diharapkan mampu memaksa seluruh pihak terkait untuk
konsisten memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Desa
didalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
Termasuk dalam memberikan peran yang maksimal kepada BUM Desa dalam
mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan.
Kesemrawutan kelembagaan ekonomi
masyarakat desa yang muncul akibat ego sektoral dan tidak berdayanya
Pemerintah Desa dalam memutus mata rantai ini diharapkan dapat terjawab
dengan hadirnya BUM Desa dan paradigma baru pengelolan desa sesuai
spirit UU Desa.
- Tulisan diadaptasi dari Makalah yang disampaikan untuk acara “Kongres Gerakan Desa 2014” di Hotel Grand Cempaka - Jakarta, 5-6 September 2014.
- Penulis adalah Ketua Perkumpulan Studi dan Pembangunan Indonesia (PSPI), anggota Relawan Desa.
0 komentar:
Posting Komentar