Minggu, 17 Februari 2013

Tradisi Nyumbang atau Balas dendam

Resepsi pernikahan adalah hal yang lumrah dilakukan pasangan pengantin baru untuk merayakan hari bahagia mereka. Ada beberapa hal pokok yang terdapat dalam resepsi pernikahan diantaranya adalah makanan dan jajanan enak, dekorasi, musik dan amplop sumbangan. Ketika mulai memasuki tempat perhelatan acara, para tamu undangan disuguhi rangkaian dekorasi khas pernikahan yang biasanya terbuat dari janur kuning. Para among tamu pun segera berdiri untuk menyalami para tamu undangan yang datang dengan dihiasi senyum di wajah mereka. Setelah menulis nama di buku daftar tamu, lipatan amplop segera berpindah tempat dari saku menuju si “gentong semar” yang biasanya terletak di sebelahnya. Setelah registrasi selesai, para tamu undangan dipersilakan menikmati hidangan dan hiburan yang disediakan panitia acara.

Semula nyumbang sebagai sesuatu yang bernilai agung, wujud solidaritas sosial masyarakat guna mengurangi beban warga yang sedang hajatan. Ketika ada tetangga, rekan atau kerabat yang sedang punya hajat, masyarakat sekitar secara suka rela membantunya, sehingga warga yang hajatan tidak terlalu terbebani. Masyarakat Jawa warna budayanya sangat kental. Hampir setiap tahapan kehidupan bisa dipastikan ada ritual-ritual yang mesti dijalankan, sejak lahir, sunatan, hamil, melahirkan, ritual kematian hingga pascakematian. Jika perayaan ritual ini semua ditanggung sendirian, akan memakan biaya yang tidak sedikit.


Secara kasar, nyumbang diartikan sebagai sodaqoh. Sodaqoh adalah memberikan sebagian harta kita kepada orang lain yang dipandang masih kekurangan dengan didasari rasa ikhlas. Keikhlasan adalah kunci utama dari sodaqoh. Kita melihat ada saudara atau teman kita yang kekurangan, dengan didasari rasa ikhlas maka kita sedekahkan sebagian harta kita untuk membantu saudara atau teman kita tersebut. Artinya sodaqoh kita hanya pantas diterima oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Maka jika makna sodaqoh kita terapkan dalam resepsi pernikahan, sangat kontras. Dengan dekorasi indah, makanan enak dengan jumlah melimpah, dan segala hal yang lebih, rasanya tidak pantas mereka masuk kategori orang-orang yang kekurangan. Apalagi jika yang menyelenggarakan pesta adalah orang yang dipandang mampu dari segi ekonomi. Mereka pasti merencanakan pesta dengan segala kemewahan yang bisa mereka lakukan. Para tamu undangan pun tidak semuanya dalam kondisi sehat ekonomi. Tidak sedikit yang ekonominya pas-pasan.


Seiring perjalanan waktu, tradisi nyumbang ikut mengalami pergeseran nilai. Tradisi yang semula bernilai solidaritas sosial tinggi ini pada akhirnya mengalami proses kapitalisasi. Nyumbang yang awalnya kental dengan nuansa solidaritas organis, solidaritas berdasarkan ketulusan,  telah berubah menuju solidaritas mekanis, solidaritas berdasarkan untung rugi. Penyelenggarakan hajatan tidak lagi semata-mata wujud akan ketaatan kepada tradisi, namun kepentingan-kepentingan ekonomi ikut bermain. Tradisi nyumbang sudah bergeser dari orientasi sakral menuju kepentingan uang. 


Balas dendam


Selain muatan tradisi, nyumbang juga ada semacam tradisi "balas dendam". Mereka yang pernah nyumbang juga akan melakukan hal yang sama agar mereka disumbang. Jika seseorang telah mengeluarkan uang Rp 50.000 kepada seseorang, maka ia pun akan berharap uang tersebut akan kembali lagi kepadanya. Proses ini terus berjalan tidak ada henti. Perihal jumlah sumbangan biasanya disesuikan dengan faktor kedekatan hubungan maupun strata sosial orang yang akan disumbang. Menyumbang orang kaya, misalnya, biasanya akan lebih besar jumlahnya ketimbang orang miskin. Mereka akan malu bila menyumbang "orang berada" dengan jumlah sedikit. Prinsip ini diakui atau tidak bertentangan dengan pesan "nyumbang" dalam arti sebenarnya. Bukankah menyumbang orang miskin mestinya lebih besar jumlahnya? Bukankah mereka lebih membutuhkan bantuan ketimbang orang kaya?


Namun, itu semua adalah bagian dari tradisi masyarakat yang secara turun-temurun diwariskan oleh generasi berikutnya. Tiap-tiap daerah punya cara yang berbeda dalam melaksanakan tradisi nyumbang. Itulah bagian dari sosialisasi kemasyarakatan yang kental dengan nuansa tradisional yang menjunjung tinggi makna kebersamaan, toleransi, tepo seliro, guyub rukun, mikul dhuwur pendem jero, dan lain sebagainya. Semua itu adalah aturan tidak tertulis yang harus ditaati semua individu. Tradisi sudah mengakar kuat dan rasanya sangat tidak mungkin untuk dirubah. Lalu bagaimana kita menghadapi hal ini?


Semua berpulang pada pribadi dan individu masing-masing. Menentukan sikap diri adalah hal yang bijaksana daripada melawan arus secara frontal. Sudut pandang kita sendirilah yang nantinya akan berbicara. Dan tentu saja, kita harus berani menghadapi resiko yang akan kita hadapi atas semua kebijakan dan sikap yang kita ambil. Oleh karena itu, percayalah pada hati nurani Anda sendiri, bukan omongan orang lain.

0 komentar:

Posting Komentar