Perbincangan perdukunan kembali marak
akhir-akhir ini menyangkut rancangan KUHAP dan KUHP yang memasukkan
perdukunan, santet, dan zina dalam aturan baru tersebut. Kasus
perdukunan dan santet memang tak bisa dilepaskan dari masyarakat kita,
karena hampir selalu terjadi kasus melibatkan praktik perdukunan.
Mengapa hal ini terus berlangsung? Berikut pembahasannya.
Banyak kasus perdukunan dipicu oleh
kemiskinan, di samping arus modernitas yang sedemikian cepat membuat
orang-orang lupa diri. Moralitas sudah sedemikian anjlok. Dukun menjadi alat pelarian sekaligus jalan pintas untuk menjadi kaya mendadak.
Entah dengan memelihara tuyul, butho ijo, babi ngepet, dan lain
sebagainya. Praktik semacam ini tetap termasuk kejahatan sebab merugikan
pihak lain sebagai korbannya.
Ingin kaya, hidup enak, dan tanpa bersusah-payah itulah pemicu sebagian masyarakat kita yang terus percaya kepada klenik dan perdukunan. Sepintas hal itu
adalah sesuatu yang alamiah sebagai manusia. Akan tetapi bila kita baca
secara lebih cermat orang menggapai jalan pintas dengan jalan ke dukun
atau paranormal sebenarnya menunjukkan ketidakberdayaan
masyarakat kita dalam menghadapi kerasnya hidup. Ketidaksiapan dan
ketidaksanggupan menjadi orang susah dan mentalitas yang lemah
menjadikan masyarakat kita begitu ringkih dan mudah terbuai dengan mimpi-mimpi megalomania yang sering ditawarkan para dukun palsu atau para pengganda uang “bohongan”. Akhirnya mereka sampai kepada kepasrahan yang tak bernalar.
Kita mungkin bisa saja menyalahkan pemerintah
negeri ini yang selalu saja lupa dengan warganya yang hidup susah.
Pemerintah lebih sibuk mengurusi bank-bank yang nyata-nyata sudah
bangkrut, lebih suka bergaul dengan IMF, membiarkan para kuroptur
lenggang kangkung jalan-jalan ke luar negeri, dan berbagai subsidi yang
selalu salah sasaran.
Pembangunan yang tidak menyentuh sampai akarnya
hanya menghasilkan kepiluan bagi rakyat kecil. Pembangunan hanya dapat
diakses bagi mereka orang-orang berduit dan kaya raya. Bagi rakyat kecil
nanti dulu. Mereka terus bergelut dengan pengusiran, penggusuran, dan
akses ekomomi dan pekerjaan yang sempit.
Sekarang suap ada dimana-mana, ingin menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota Polri misalnya kita sudah
dimintai upeti puluhan juta rupiah. Lalu dari mana uang sebesar itu
dalam benak rakyat kecil. Akhirnya hanya merekalah orang-orang berduit
dan kaya yang punya akses kesitu. Akibatnya yang kaya semakin kaya yang
miskin harus puas tetap miskin. Kemiskinan strukural semacam inilah
penyakit yang terjadi di negeri ini. Lemahnya akses-akses pada
sektor-sektor ekonomi dan pasar kerja menjadikan rakyat miskin mencari
pelepasan yang keliru seperti menjadi pengedar narkoba, pencuri,
penjambret, preman, penipuan, perdukunan, dan terjerumus pada pelacuran.
Menyakitkannya lagi wajah-wajah mereka tak
henti-hentinya diekspose habis-habisan oleh media massa elektronik
televisi dalam acara-acara kriminal. Wajah yang babak-belur dan
aksi-aksi kekerasan yang dilakukan aparat menjadi tontonan menarik
nanekslusif untuk memenuhi dahaga komoditas. Sementara para koruptor
kelas kakap negeri ini tetap nyaman dapat bernafas lega, masih bisa
tersenyum dan tertawa-tawa. Padahal para pemirsa tahu para koruptorlah
yang harus diekspose besar-besaran bukan justru pencuri sepeda yang
ketangkap basah dan babak-belur dihakimi massa.
Rasa putus asa dan tak tahu ke mana harus mengadu
membuat masyarakat bawah menjadi lahan empuk berbagai penipuan berkedok
dukun. Para dukun itu mengiming-imingi dapat mewujudkan apa saja
keinginan yang diminta, tentu dengan mematuhi berbagai persyaratan.
Secara nalar persyaratan itu tentu sangat aneh dan tak masuk
akal seperti menyiapkan kembang setaman, ayam jago, bersemedi semalam
suntuk pada sebuah sungai dan ritual-ritual lain yang membuat nyali kita
ciut.
Dibalik euphoria globalisasi akhir-akhir
ini dan riak gelombang generasi serba canggih yang hampir menyelimuti
seluruh penjuru dunia. Nyatanya alam-alam irasional yang sulit dijangkau
dengan akal sehat tetap saja subur dan menjadi tempat-tempat pelarian.
Lebih lanjutnya praktek perdukunan saat ini telah bergerak kearah yang
“menakutkan”. Bukan saja tempat untuk berkeluh kesah tentang hidup, cara
mudah mencari rezeki, perjodohan, santet, dan cara mudah menduduki
jabatan. Tapi telah bergerak kearah pemutarbalikkan dimensi ketuhanan (religiusitas).
Keimanan seseorang kepada yang Esa menjadi
sia-sia dan seseorang telah mengalami degradasi moral yang demikian
parah. Dalam hal ini nalar sudah tidak berarti lagi. Semua jurusan hidup
ini semuanya hanya mengarah kepada nafsu rendah manusia, ingin kaya,
hidup enak tanpa peduli dari mana harta itu diperoleh.
Merampok, membunuh, mencuri, dan menipu tiap hari
kita saksikan di layar kaca televisi kita. Apakah perlu kita percaya
kepada Nietzhe yang tidak percaya lagi kepada agama dan mengatakan Tuhan
telah mati. Tentu tidak! Dari sinilah para pemimpin dan pemuka agama di
negeri ini perlu mengambil peran sebagai oase ditengah-tengah masyarakat yang sedang sakit dan tak berdaya.
Masyarakat saat ini yang cenderung pragmatis dan segala sesuatu bermuara pada kesenangan (pleasure), hidup enak dan kaya. Sayangnya mereka tak mau hidup rekoso (kerja keras), tapi lebih banyak mengeluh dan lari ke praktik perdukunan dan klenik yang tentu saja tak perlu bersusah payah.
Negara punya tanggungjawab secara moral untuk
memperbaiki watak bangsa ini yang semakin merosot dari segi moral.
Pembukaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran menjadi
tanggungjawab pemerintah dalam mensejahterakan warganya.
Singkatnya selama keinginan masyarakat untuk kaya
mendadak tanpa berpeluh keringat belum juga mati, maka praktek
irasional kaya mendadak akan tetap tumbuh subur di masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar